Warning: Undefined array key 0 in /var/www/tgoop/function.php on line 65

Warning: Trying to access array offset on value of type null in /var/www/tgoop/function.php on line 65
- Telegram Web
Telegram Web
Forwarded from Yedam lovetalker.
Rhea menatap Arjuna dengan mata yang berbinar. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hujan tak lagi membawa kenangan yang hilang—melainkan mengembalikan seseorang yang seharusnya tak pernah pergi.

"Ambil lah,"

Rhea tersenyum, dan menerima secarik kertas itu.

"Iya, terima kasih."

Di luar, hujan masih turun. Tapi kali ini, mereka tidak lagi merasa sendirian, tiada tangis, air mata atau kesedihan, hanya tersisa senda gurau, kebahagiaan, dan senyuman keduanya.

#𝐄𝐕𝐄𝐍𝐓𝕬𝐒𝐑
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
Forwarded from Yedam lovetalker.
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
ᅠᅠᅠᅠ . 𝓦e congratulate the winners, congratulations because you were chosen as the creator of the best mini vlogs, manips and story pieces, for those who did not win this event, please do not be disappointed, because there is still a next event, with this we will hand over the certificate along with the prize that will be received by the winner. winner.

EVENT GIFT LIST

🦋 icons & coin nitroseen

ᅠᅠ💭 . The winner can submit the format to claim the prize, the format is here
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
PEMENANG 𝚅𝙰𝙻𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙴 𝚂𝚃𝙾𝚁𝚈 #𝐄𝐕𝐄𝐍𝐓𝕬𝐒𝐑
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
Forwarded from Jeyan.
Terlihat dari kejauhan seorang pria tampan berdiri di tengah kabut yang menggantung rendah di atas tanah. Sosoknya tinggi, berjas hitam, dan tatapan matanya yang tajam seolah menembus kegelapan malam. Zea menelan ludah, jantungnya berdetak tak karuan. Dia tidak mengenal pria itu, tetapi ia tidak bisa mengalihkan pandangan.

Zea baru saja pulang dari kerja kelompok di rumah temannya. Jalan setapak menuju rumahnya melewati hutan kecil yang selalu sunyi di malam hari. Tidak ada orang lain di sana selain pria itu—atau mungkin lebih tepatnya, sosok itu.

Zea mempercepat langkahnya, berharap dia hanya berhalusinasi. Namun, semakin dia berjalan, semakin jelas sosok itu. Pria itu tidak bergerak, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Zea," panggilnya pelan, suaranya dalam dan bergema di udara malam.

Zea terkejut. Bagaimana dia tahu namanya? Dia tidak pernah bertemu pria ini sebelumnya.

"A-aku kenal kamu?" tanya Zea, mencoba bersikap tenang meskipun tubuhnya mulai gemetar.

Pria itu tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan dalam tatapannya. "Seharusnya kamu mengenalku..."

Langkahnya semakin mendekat. Zea bisa melihat wajahnya lebih jelas sekarang—wajah yang tampan, tetapi pucat seperti mayat. Tiba-tiba, udara di sekitarnya terasa lebih dingin, dan bulu kuduknya meremang.

Zea ingin berlari, tapi tubuhnya terasa kaku.

"Jeyan," pria itu memperkenalkan dirinya. "Aku sudah lama menunggumu."

"Apa maksudmu?" Zea memundurkan tubuhnya perlahan, namun semakin dia menjauh, semakin gelap sekelilingnya. Suara angin mendesir di telinganya, dan tiba-tiba bayangan-bayangan mulai bergerak di antara pepohonan.

"Kamu pernah berjanji akan kembali padaku," kata Jeyan, nadanya penuh kepedihan. "Tapi kamu melupakan semuanya..."

Zea menggeleng, kebingungan. "Aku... Aku tidak mengerti maksudmu.."

Senyum Jeyan menghilang. "Mungkin kau tidak mengingatnya, tapi aku ingat segalanya... Aku ingat saat kau mengkhianatiku."

Jantung Zea hampir berhenti berdetak. Udara semakin mencekam, dan kabut di sekitarnya seolah berubah menjadi tangan-tangan yang merayap ke arahnya. Dia ingin menjerit, tapi suara itu tercekat di tenggorokannya.

Siapa sebenarnya Jeyan? Apa yang telah dia lupakan?

Dan yang paling penting... Apakah dia bisa selamat dari pertemuannya dengan sosok tampan itu?



Zea terhuyung mundur, matanya menatap Jeyan dengan ketakutan dan kebingungan. "Aku nggak ngerti... Aku bahkan nggak kenal kamu!" suaranya bergetar, tapi dia tetap berusaha terdengar tegar.

Jeyan menatapnya sorot matanya tajam namun penuh luka. "Kamu memang tidak mengingatku. Tapi aku tidak bisa melupakanmu,"

Angin malam bertiup semakin kencang, membuat kabut di sekitar mereka bergerak seperti tangan-tangan tak kasat mata. Zea menggigit bibirnya, mencari celah untuk kabur.

"Aku harus pergi," katanya, berbalik dan mulai berlari.

Namun, baru beberapa langkah, tubuhnya tiba-tiba terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menahan kakinya. Dia menunduk—dan nyaris berteriak saat melihat tangan-tangan berwarna hitam pekat mencengkeram pergelangan kakinya dari dalam tanah.

"Jangan lari, Zea," suara Jeyan terdengar lebih dalam, hampir seperti bisikan di dalam kepalanya. "Aku sudah menunggumu begitu lama..."

Zea menjerit, berusaha menarik kakinya dari cengkeraman mengerikan itu. "Lepasin aku!"

Jeyan berjalan mendekat, dan semakin dia mendekat, semakin gelap di sekitar Zea. Pohon-pohon yang tadinya berdiri kokoh perlahan menghitam seperti bayangan. Udara semakin dingin, dan Zea bisa mendengar suara bisikan samar di sekelilingnya.

"Apa yang kamu mau dariku?" Zea memaksa dirinya untuk tetap menatap Jeyan, meskipun tubuhnya gemetar.

Jeyan berhenti tepat di hadapannya. Mata gelapnya menatap langsung ke dalam mata Zea, seolah mencoba mencari sesuatu di dalam jiwanya. "Aku hanya ingin kamu menepati janji"

"Janji apa?" Zea hampir menangis karena frustrasi.

Jeyan mengangkat tangannya, menyentuh pipi Zea dengan dingin yang menusuk. "Janji bahwa kita akan bersama... selamanya."
Forwarded from Jeyan.
Zea tersentak. Kepalanya mulai terasa sakit, dan tiba-tiba... gambaran-gambaran asing melintas di benaknya.

Kilasan wajah Jeyan, tersenyum padanya dalam cahaya lilin.
Bayangan mereka berdua berdiri di tengah hutan, tangan mereka saling menggenggam.
Bisikan lembut yang keluar dari bibirnya sendiri: "Aku berjanji, aku akan kembali untukmu..."

Zea terengah. Itu bukan ingatan yang dia miliki. Tapi kenapa terasa begitu nyata?

Jeyan tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan dalam matanya. "Sekarang kamu mengerti, kan?"

Tidak, Zea tidak mengerti. Tapi yang lebih menakutkan adalah...

Bagian dalam dirinya mulai percaya bahwa Jeyan tidak berbohong.

Zea mundur selangkah, napasnya memburu. “Ini nggak masuk akal…” bisiknya.

Jeyan masih menatapnya dengan sorot mata yang dalam. “Kau mengingatnya, kan?”

Zea menggeleng keras, menolak kenyataan yang tiba-tiba memenuhi pikirannya. Tapi semakin dia berusaha melupakan, semakin jelas bayangan-bayangan itu muncul di kepalanya—masa lalu yang tak pernah ia sadari, janji yang telah ia ucapkan pada Jeyan.

“Aku tidak mungkin mengenalmu. Aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya!” Zea bersikeras.

Jeyan tersenyum kecil, tetapi sorot matanya sangat tajam. “Karena kau sudah melupakan semuanya. Aku… mati menunggumu.”

Darah Zea seakan membeku. Kata-kata itu menggema di kepalanya.

Mati?

Zea menatap Jeyan dengan tubuh bergetar. Tidak. Itu tidak mungkin. Tapi melihat kulitnya yang pucat, tatapannya yang kosong namun penuh kerinduan, Zea mulai memahami sesuatu yang mengerikan.

Jeyan bukan manusia.

Dia adalah arwah yang terjebak di dunia ini... menunggu zea yang tak kunjung kembali.


---

Flashback on

Mereka berdua berdiri di hutan ini, bertahun-tahun lalu—atau mungkin dalam kehidupan yang berbeda. Jeyan menggenggam tangan Zea, matanya dipenuhi cinta dan ketakutan yang tak tersembunyikan.

"Kita akan selalu bersama, kan?"

Zea muda tersenyum, mengangguk. "Tentu. Aku berjanji. Aku akan kembali untukmu."

Tapi dia tidak pernah kembali.

Jeyan menunggu, terus menunggu… hingga ajal menjemputnya dalam kesedihan.


Flashback off
---

Zea terengah, matanya membelalak saat kilasan itu berakhir. “Tidak…”

Jeyan menatapnya penuh harap. “Sekarang kau mengerti, kan? Aku menunggumu… menunggu janji yang kau buat.”

Zea menelan ludah. “Tapi… aku…”

Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia ingin lari, ingin berpura-pura bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Tapi bagaimana jika benar? Bagaimana jika Jeyan telah menghabiskan seluruh keberadaannya hanya untuk menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang?

Jeyan mengulurkan tangannya. “Ayo, Zea. Aku ingin kita bersama lagi… seperti yang kau janjikan.”

Dingin menyelimuti tubuh Zea. Jika dia menerima tangan itu, dia tahu apa yang akan terjadi.

Dia akan pergi bersama Jeyan.

Tidak akan ada lagi kehidupan yang bisa ia jalani. Tidak ada lagi masa depan. Hanya keabadian di sisi pria yang bahkan tidak bisa ia ingat sepenuhnya.

Tapi…

Melihat mata Jeyan yang dipenuhi luka dan kerinduan, sesuatu dalam dirinya terasa sakit.

Karena bagaimanapun juga, janji tetaplah janji.

Zea menutup matanya sejenak, lalu menghela napas panjang. Saat dia kembali membuka mata, dia tersenyum kecil dan mengambil langkah maju.

Tangannya terulur, menyentuh jemari Jeyan yang dingin.

Sekejap, kabut di sekeliling mereka bergulung lebih pekat, menyelimuti mereka dalam pelukan kegelapan. Udara berubah sunyi, dan bayangan-bayangan menghilang.

Dan saat kabut perlahan menghilang…

Jeyan dan Zea sudah tidak ada di sana.

Hanya hutan yang kembali sunyi, seakan tidak pernah ada siapa pun yang berdiri di sana sebelumnya.
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
2025/03/31 21:13:51
Back to Top
HTML Embed Code: