Mengiringi hujan, lantunannya memeluk raga yang sedari malam menyembunyikan luka dalam isakan tertahan.

"Gelap sekali?"

Mati lampu.

Tidak perlu dinyalakan lampu candangannya.
Toh, terbiasa cahaya masuk dari kamar mandi saja.
Atau, sapaan tipis dari rembulan di ventilasi atas.
Kamarnya, tetap temaram.

Penyumpal telinganya tidak terpasang.
Suara bising musik menjadi hilang.
Pekik gaungan penuhi genderang.
Entah, sedikit membuat tenang, meski pengang

Menguap.

Bergulung dalam crewneck tebal nan besar.
Memandangi warna kuningnya menyala.
Jika dibawa keluar, sorak sorai penuhi jalan.
Sebab terbiasa dengan abu, coklat juga hitam.

Terlelap tanpa sengaja.

'Awalnya' hilang ditarik paksa lelah.

Mencoba mempertanyakan semua perasaan bersalah.
Dengan pergi ke luar untuk membiarkan angin menampar wajah.
Untuk menghalau rasa yang ditekan kuat.
Sebab bercerita hanya akan membuatnya semakin disalahkan.

Pertanyaan tentang "bolehkah?" Atau "salahkah?" Terus merongrong.

Rasa kasihan sepertinya.
Kan, tanggung jawab saya.
Telunjuk di hadapan muka, berteriak.
Tidak tahu terima kasih mereka bilang.

Padahal kalau mau merasa kasihan, kan tidak perlu mengalami.

Sepi itu menyenangkan.
Hingga mereka membawa bingar.
Sepi itu damai.
Hingga mereka tawarkan bising.

Aku, menikmati sementara.
Hingga mereka bawa kembali semua.
Aku, harus berdamai dengan sepi, lagi.
Mengulang semua dari awal, lagi.

Sepi kini terasa membunuh.
Membuat kesendirianku merangkak mencari bunyi.

Apa saja, asal telingaku tidak pengang.
Apa saja, asal suara yang terdengar tidak menyakitkan.

Tamanku berbunga.

Menyenangkan melihatnya berwarna cerah.

Terima kasih sudah menabur bibit cempaka.

Kalau sampai layu, ku anjingi kamu selamanya.